BAB III
WILLEM ISKANDER DALAM PENDIDIKAN DAN PERJUANGAN
3.1. Masa Kecil Sampai Remaja
Menurut Acte van Bekendheid bertarikh 28 Februari 1874,
Willem Iskander lahir di Pidoli Lombang pada bulan. Maret 1840. Ayahnya, Raja
Tinating, Raja Pidoli Lombang, dan ibunya Si Anggur Boru Lubis. Acte van
Bekendheid ini dibuat sebagai pengganti Akte Kelahiran oleh Arnoldus Johannes
Pluggers, Kontrolir Kelas 2 Penguasa Sipil finder Afdeeling Groot Mandailing en
Batang Natal. Dua orang saksi menyatakan mengenal Willem Iskander dan
keluarganya secara pribadi. Kedua saksi itu adalah Johannes Hendrik Kloesman, Pakhuismeester, Opsinar
Kelas 1 Kepala Gudang Kopi Mandailing di Tanobato, dan Philippus Brandon,
Opsinar Kelas 1 bidang pertanian dan perkebunan di Muarasoma. Residen Tapanuli,
H.D. Canne melegalisasi akte itu. Kemudian Sekjen Departement van Kolonien,
Henny, membubuhi tanda tangannya pada akte itu di Den Haag pada tanggal 22
September 1874, sebagai bukti telah membaca legalisasi yang dibuat oleh Residen
Canne itu.1 (Lampiran 1).
Menurut tarombo silsilah raja-raja Mandailing, Willem
Iskander termasuk generasi XI marga Nasution. Dia adalah anak bungsu dari empat
bersaudara. Ketiga abangnya masing-masing Sutan Kumala, Sutan Soripada dan
Sutan Kasah. Walaupun selisih umur Willem Iskander jauh dengan tokoh legendaris
Sutan Kumala Yang Dipertuan Hutasiantar, mereka berada dalam satu garis
generasi. Artinya, Sutan Kumala Yang Dipertuan Hutasiantar, yang biasa
dipanggil Yang Dipertuan, adalah termasuk jajaran abang bagi Willem Iskander.
Willem Iskander dibesarkan di dalam bimbingan dua tokoh karismatik. Pertama,
abangnya Raja Pidoli Lombang, Sutan. Kumala, yang mendidik dan membina Willem
Iskander dalam suasana disiplin yang ketat. Kedua, Sutan Kumala Yang Dipertuan
Hutasiantar, yang dijuluki Belanda primaat mendidik dan membina Willem Iskander
dalam suasana akrab bagaikan hubungan guru dan muridnya atau antara ayah dan
anaknya. Pada saat kelahiran Willem Iskander, sedang terjadi proses perubahan
yang drastis dalam kehidupan sosial budaya Mandailing: Perubahan itu dengan
sendirinya berdampak pada terjadinya perubahan nilai-nilai tradisional.
Penyebab perubahan itu terutama dua hal, yaitu:
1. Masuknya agama Islam yang beraliran radikal dari Sumatera
Barat pada masa Perang Paderi.
2. Masuknya kekuasaan kolonial Belanda pada masa pasca
Perang Paderi.
Perubahan-perubahan drastis itu meliputi hampir seluruh
aspek kehidupan masyarakat Mandailing, antara lain a. Perubahan kedudukan dan peranan masyarakat bangsawan
tradisional menjadi bangsawan feodal kesukuan.
b. Masyarakat yang ekstrim agraris bergeser menuju
masyarakat pasar, disebabkan semakin lancarnya arus lalu lintas balk menuju
Sumatera Barat maupun ke Pantai Barat.
c. Masyarakat yang sebelumnya merasa memiliki kerajaan mandiri,
berubah menjadi masyarakat dalam manajemen kolonial Belanda.
d. Masyarakat yang masih banyak dipengaruhi kepercayaan
animisme berubah menjadi masyarakat yang beragama Islam, yang pada mulanya
bersikap toleran, kemudian menjadi radikal setelah datang aliran Islam yang
lebih radikal.
e. Masyarakat yang sebelumnya buta huruf mulai melek huruf.
f. Masyarakat yang sebelumnya bersifat statis kemudian
menjadi dinamis dan berpikir kritis. Pada masa transisi itulah Willem Iskander
dilahirkan dan tumbuh menjadi remaja muda. Dia menyaksikan keadaan itu, bahkan
dia sendiri adalah produk dari situasi transisi itu. Willem Iskander kecil yang
cerdas itu memperhatikan keadaan masyarakat yang berubah drastis itu. Begitulah
alam pikiran dan spiritualitas Willem Iskander dibentuk dalam lingkungan yang
kondu.sif bagi perkembangan daya nalar dan naluri yang kuat. Masyarakat
Mandailing menggambarkan kecerdasan dan kejelian Willem Iskander pada waktu
kecil dalam suatu cerita anekdot. Konon Willem Iskander kecil mampu menebak
jumlah lembaran daun pada pelepah kelapa yang jatuh dari pohonnya. Terbukti
setelah pelepah itu jatuh ke tanah, tebakan Willem Iskander sering tidak
meleset.
1 .3.2. Pendidikan dalam keluarga.
Keluarga adalah sekolah pertama bagi anak. Orangtua, terutama
ibu, menjadi guru pertama dan utama bagi anak. Lingkungan keluarga batih
sekaligus menjadi lingkungan sekolah pertama dan anggota keluarga batih menjadi
guru-guru pertama. Demikian lingkungan anak semakin luas sesuai dengan
perkembangannya.
Salah satu yang menarik dalam pendidikan anak-anak
Mandailing di dalam keluarga dan masyarakat, ialah pengajaran tentang istilah
sapaan kekerabatan (kinship terminology) dan pendidikan etika yang dikandung
tiap istilah sapaan itu. Di dalam bahasa Mandailing, istilah sapaan itu disebut
partuturon. Inilah pendidikan budi pekerti yang paling awal diajarkan kepada
anak-anak Mandailing. Willem Iskander sendiri menjalani pendidikan seperti itu.
Frekuensi dan kualitasnya pendidikan budipekerti yang diperolehnya di atas rata-rata
yang diterima oleh kebanyakan orang di dalam masyarakatnya. Hal itu terjadi,
karena keluarganya sendiri dan kerabat lainnya dalam lingkungan keluarga besar
Yang Dipertuan Hutasiantar, adalah kelompok masyarakat yang menjadi panutan.
Sudah barang tentu, Willem Iskander memiliki peluang yang lebih besar untuk
memperoleh pendidikan yang baik di dalam keluarga dibandingkan dengan anak-anak
sebayanya. Raja Tinating, wafat ketika Willem Iskander masih kecil. Oleh karena
itu, abangnya yang tertua, Sutan Kumala, raja Pidoli. Lombang, menjadi mentor
Willem Iskander. Berbeda dengan dua orang abangnya yang lain Sutan Soripada dan
Sutan Kasah, sikap dan perilaku abang tertuanya Sutan Kumala jauh lebih tegas,
berwibawa dan memegang teguh disiplin dan tatakrama adat istiadat. Sebagai anak
bungsu dari empat bersaudara, Willem Iskander sangat disayangi oleh
keluarganya. Agaknya dia menjadi harapan masa depan bagi keluarga. Walaupun
masih dalam usia remaja, dia sudah memperoleh gelar yaitu Sati gelar Sutan Iskandar.
Belum diperoleh data yang pasti kapan orangtuanya meninggal. Sehingga tidak
dapat dijelaskan dengan pasti sampai usia berapa Willem Iskander berada dalam
bimbingan ayahnya Raja Tinating dan ibunya Si Anggur Boru Lubis. Tetapi dapat
diperkirakan dan analisis berbagai dokumen yang ditemukan, bahwa yang paling
dominan mendidik Willem Iskander adalah abangnya yang tertua, Sutan Kumala.
Nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai luhur tradisional tentang kearifan,
kejujuran, respek kepada orang lain, suka belajar dan mencintai lingkungan,
adalah inti pendidikan yang diperolehnya di dalam keluarga. Salah satu bagian
pendidikan budipekerti yang diperolehnya, ialah pemahaman dan pengamalan Poda
Na Lima (Petuah Yang Lima) tentang kesucian dan kebersihan rohani dan jasmani.
Butir-butir Poda Na Lima adalah: 1) Paias rohamu (Bersihkan hatimu), 2) Paias
pamatangmu (Bersihkan dirimu), 3) Paias parabitonmu (Bersihkan pakaianmu), 4)
Paias bagasmu (Bersihkan rumahmu), dan 5) Paias pakaranganmu (Bersihkan
pekaranganmu). Poda Na Lima sarat dengan muatan ajaran agama Islami, yang
secara eksplisit disebutkan dalam Hadis Nabi Muhammad SAW, bahwa Kebersihan itu
sebagian dari iman. Selain itu, banyak sekali istilah kekerabatan yang dipakai
sebagai istilah sapaan baik dalam kaitannya dengan hubungan kekerabatan maupun
yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari dalam masyarakat Mandailing.
Istilah-istilah yang merupakan kata-kata kunci etika itu, disosialisasikan
kepada anak-anak Mandailing agar mereka berbudipekerti luhur. Setiap istilah
mengandung etika tertentu dalam bertutur kata dan berperilaku. Itu lab
sebabnya, orang Mandailing senantiasa martarombo pada perkenalan pertama dengan
orang yang disapanya. Martarombo artinya menyiasati hubungan kekerabatan,
sehingga orang-orang yang baru berkenalan mengetahui tutur mereka secara timbal
balik. Hal ini sangat penting dilakukan, agar tidak timbul kecanggungan,
perasaan menyesal dan malu. Kebiasaan martarombo yang paling umum dilakukan
pada pertemuan pertama adalah saling menanyakan marga masing-masing. Dengan
mengetahui marga setiap orang akan mengetahui tutur mereka masing-masing secara
timbal balik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar